“Pakaian adalah kepanjangan kulit kita.” Demikianlah aforisme dari filsuf media kondang, Marshall McLuhan (1911-1980). Pakaian tak hanya melindungi tubuh dari cuaca panas atau dingin, tapi juga menunjukkan secara sosial siapa diri kita. Bagi McLuhan, semenjak akhir Perang Dunia II, bangsa Eropa kian menekankan nilai visual pakaian. Orang lantas berpakaian demi melayani tatapan mata. Sementara itu, seiring dengan spirit kemajuan yang diusung revolusi industri, bangsa Eropa membuang kerumitan gaya berpakaian ala kalangan bangsawan dan memilih bahan yang lebih sederhana. Berbeda dengan kaum feodal yang ditentangnya, para penggerak Revolusi Perancis mengenakan pakaian yang sederhana. Tak aneh, McLuhan menyebut pakaian sebagai “manifesto non-verbal kemarahan politik.”
Pakaian yang dikenakan karakter dalam film lazimnya disebut ‘kostum.’ Ia memiliki peran yang tak bisa dipandang sebelah mata. Umpamanya, dalam film berlatar sejarah, kostum menjadi bagian organik bersama dengan set dalam menciptakan konteks peristiwa pada setiap adegan. Tak aneh, jika film drama berlatar sejarah disebut dengan ‘costume drama’ atau ‘costume film.’ Istilah ini jelas mengisyaratkan betapa pentingnya posisi kostum dalam genre film itu selain anasir naratifnya. Kita tahu, karakter dalam costume drama lazimnya mengenakan busana yang khas (tak jarang penuh warna) dan tampak otentik. Karena itulah, costume drama kadangkala diolok-olok karena hanya mengandalkan daya tarik superfisial untuk menggaet penonton lewat pameran busana yang ‘wah’ dan ‘mewah.’ Bagaimanapun, tanpa ada desain kostum yang selaras dengan zaman yang menjadi konteks narasinya, maka hanya lahir anakronisme. Akibatnya, desain kostum itu justru menggerus bangunan naratif film serta menggerogoti kepercayaan penonton.
Begitu pula, dalam genre film fantasi kostum ikut meluaskan imajinasi penonton. Apalagi dalam film fantasi dengan latar cerita masa depan, kostum kerap bak sebuah ramalan fashion yang kelak mewarnai masyarakat. Kendatipun filsuf Roland Barthes dalam bukunya The Fashion System (1967), menyatakan meramal fashion adalah sebuah ilusi. Tentu saja, kostum dalam film tidak sepenuhnya mampu merepresentasikan secara akurat sebuah zaman. Dalam kenyataannya, kostum merupakan buah kreativitas sang penata busana, kendati sebelumnya ia telah melakukan riset yang intensif. Pendeknya, kostum merupakan tafsir sang penata busana dalam membaca semangat zaman. Dieja secara lain, kostum melampaui kerja teknis memilih bahan, warna, membuat pola dan menjahit kain serta menyematkan pelbagai aksesoris.
Menarik dicatat, profesi penata busana (costume designer), terutama di Indonesia, tidak cukup memperoleh perhatian yang selayaknya. Posisinya masih kalah pamor dibandingkan dengan sutradara, penata kamera atau penulis skenario. Apalagi kerja penata busana senantiasa mesti diselaraskan dengan sutradara, penata artistik dan juga penata fotografi, terutama berkaitan dengan warna dan pencahayaan. Kendati dalam perhelatan Festival Film Indonesia telah ada penghargaan khusus terhadap penata busana, tak banyak ulasan khusus media atau kritikus terhadap kerja seorang penata busana. Padahal, kita tahu, kostum mampu menebalkan kepercayaan penonton terhadap watak dari karakter dalam film itu. Utamanya, kostum bisa menjadi penanda penting karakter perempuan, sehingga mampu menguatkan narasi dengan segenap lapis pemaknaannya. Malahan, tak jarang, kostum yang memikat dan inovatif secara mandiri bisa terpisah dari narasi film. Ia menjadi kisah itu sendiri.
Pada akhirnya, film adalah sebuah kerja kolaboratif. Sutradara memang melakukan orkestrasi seluruh kerja kreatif dalam produksi film. Akan tetapi, tanpa kontribusi penata busana, maka tak lahir narasi yang utuh serta bisa dipercaya sepenuhnya. Lebih dari sekadar pembungkus tubuh, barangkali kostum merupakan sebentuk sensibilitas kultural. Melalui kostum, kita menemukan sebuah corak masyarakat dengan segenap adat dan tabiatnya.
Tulisan ini pernah dimuat dalam leaflet ‘Pameran Kostum Retno Ratih Damayanti: Sejarah Tak Pernah Telanjang’ yang diselenggarakan oleh Sangkring Art Project, Yogyakarta, 10-24 Juli 2018.