Movies, Reviews

By Budi Irawanto

AUTOBIOGRAPHY: KEKERASAN YANG TAK PERNAH PURNA

Sutradara: Makbul Mubarak | Skenario: Makbul Mubarak | Produser: Yulia Evina Bhara | Sinematografi: Wojciech Staron | Penyunting: Carlo Francisco Manatad | Musik:  Bani Haykal | Penyunting Suara: Rémy Crouzet | Pemain: Kevin Ardilova, Arswendy Bening Swara, Haru Sandra, Rukman Rosadi, Yusuf Mahardika, Lukman Sardi | Rilis: 2 September 2022 (Venice Film Festival); 19 Januari 2023 (komersial di Indonesia)


Autobiography yang menjadi Film Pilihan Tempo adalah karya yang cemerlang.  Sebuah film debut Makbul Mubarak yang mencekam tentang riwayat panjang kekerasan di negeri ini.

_____________________

Langit di kampung itu kian tampak hitam pekat tatkala sumber penerangan mendadak padam. Penyebabnya, genset yang menghasilkan tenaga listrik kehabisan bahan bakar. Berbekal lampu senter, sejumlah pemuda melewati jalan berliku hendak menghidupkan genset itu. Menyediakan tenaga listrik yang bisa diandalkan menjadi janji kampanye seorang mantan jenderal yang berambisi menjadi bupati. Penolakan terhadap rencana pembangunan pembangkit listrik itu menyebabkan salah satu warga kehilangan nyawa.

Persoalan listrik sejatinya hanyalah siasat sang sutradara mengajak penonton menyelami watak kelam kekuasaan yang berbalut kekerasan. Purna (Arswendy Bening Swara), seorang pensiunan jenderal dalam film ini, menjadi contoh yang sempurna. Setelah tak lagi berdinas tentara, Purna rupanya ingin menjajal karier sebagai bupati. Maka ia gencar melakukan kampanye demi merebut simpati warga. Ia berceramah di depan umum dan membentangkan baliho di seantero kabupaten. Tak jadi soal, demi mewujudkan ambisinya itu, jika Purna mesti menempuh cara kekerasan.

Gambar: KawanKawan Media

Purna tak sendirian mewujudkan ambisinya. Ia ditemani seorang pemuda bernama Rakib (Kevin Ardilova) sebagai pembantu yang setia. Rakib adalah generasi ketiga pembantu yang mengabdi kepada keluarga Sang Jenderal. Ayah Rakib meringkuk di penjara karena menyabotase perusahaan yang merugikan keluarganya. Tak ayal, sosok Purna bukan hanya seorang majikan. Di mata Rakib, Purna telah menjelma menjadi figur bapak. Relasi antara Purna dan Rakib itulah yang mewarnai jelujur narasi film ini. Sebuah relasi kuasa yang asimetris, penuh ketegangan, hingga berujung kekejian.

Film bertajuk Autobiography ini merupakan debut Makbul Mubarak yang baru saja menyabet Jury Prize for Technical Achievement dalam perhelatan World Film Festival of Bangkok yang ke-15 di Thailand. Sebelumnya, film ini menggondol penghargaan puncak Silver Screen Award dalam Singapore International Film Festival dan Golden Hanoman dalam Jogja-NETPAC Asian Film Festival. Tercatat ada 14 penghargaan yang ditangguk dari 23 festival film internasional yang dijelajahinya sejak premier tiga bulan silam di Venice Film Festival. Penghargaan Film Pilihan Tempo menggenapkan deretan prestasi yang telah diukir film ini.  Kevin Ardilova (baca: ‘Mencari dan Menjelma Menjadi Rakib’) yang menjadi pemeran utama film juga dinobatkan sebagai Aktor Pilihan Tempo.

Deretan prestasi Autobiography agaknya tidak bisa dipisahkan dari tahapan pra-produksi yang memakan waktu lama sejak 2017 dan melibatkan tujuh negara (Polandia, Prancis, Singapura, Jerman, Qatar, Filipina, Indonesia). Syuting berlangsung selama 43 hari di tengah ancaman pandemi Covid-19 serta melewati 13 kali penggodokan draft di pelbagai laboratorium pengembangan skenario. Kolaborasi dengan pelbagai negara tak terbatas dalam hal skema pendanaan, tapi juga di ranah artistik. Tak aneh jika kita temukan deretan kru yang berasal dari luar Indonesia. Misalnya pengarah sinematografi Wojciech Staron asal Polandia, penyunting film Francisco Carlo Manatad (Filipina), dan penyunting suara Remy Crouzét (Perancis).

Sejumlah penghargaan yang diborong Autobiography hanyalah sebagian dari keistimewaan film ini yang dicatat tim juri.  Ada sejumlah keistimewaan lain yang membuat tim juri bersepakat menetapkannya sebagai Film Pilihan Tempo.

Pertama, film ini merupakan tafsir generasi baru atas riwayat panjang kekuasaan yang dibangun lewat kekerasan di negeri ini. Meskipun reformasi 1998 membuka ruang kebebasan dan demokrasi, rupanya warisan kekerasan Orde Baru tidaklah sirna.  Tajuk film ini, ‘Otobiografi’ (Autobiography), memang memantik tanda tanya di benak penonton.  Apakah film ini tentang biografi pembuatnya? Jika bukan, biogarfi siapa yang diungkap dalam film ini?  Apakah biografi bangsa ini?  Sebagaimana diakui Makbul, sejak awal sutradara itu berkukuh mempertahankan tajuk Autobiography kendati ceritanya terus berkembang. Bertolak dari deretan pertanyaan itulah, film ini mengguncang pemaknaan atas kekuasaan, kepatuhan dan jalan kekerasan.

Gambar: KawanKawan Media

Kedua, kendati berkutat pada dua karakter (Purna dan Rakib) yang mewakili generasi yang berbeda, film ini mampu membangun relasi yang kompleks dan intens di antara keduanya. Tentu ini buah dari skenario yang ditulis ketat dan rapi serta dieksekusi dengan cerdas oleh Makbul.  Kehadiran sosok Purna terus membayangi dan mengancam Rakib. Sebab, Purna telah menguasai jiwa dan raga Rakib. Adegan Purna memandikan Rakib menjadi bukti betapa Rakib tak lagi memiliki kuasa atas tubuhnya. Karena itu, di bagian akhir film, Rakib berusaha membebaskan dirinya dari kuasa Purna. Ironisnya, Rakib justru memilih cara kekerasan seperti yang dilakukan Purna.

Ketiga, ruang menjadi bagian penting film ini yang seakan-akan menjadi karakter tersendiri. Memilih lokasi syuting di Bojonegoro, Jawa Timur, film ini menawarkan bentang alam mulai dari gunung kapur hingga ladang jagung serta daerah yang bercuaca panas.  Menurut Makbul, “Lokasi syuting sebenarnya bisa di mana saja. Tapi temperatur yang panas terik menjadi pertimbangan utama karena bisa mempengaruhi karakter.” Dalam film tampak adegan warga desa yang amarahnya gampang tersulut karena kendaraan yang dikemudikan Rakib menabrak pagar di dekat masjid, tapi mereka tak berkutik di hadapan seorang mantan jenderal.

Keempat, sumber konflik dalam film ini (masalah listrik) bisa diterjemahkan secara sinematografis. Suasana yang nyaris gulita pada saat malam mendominasi film ini. Menurut Makbul, “Sebagian besar syuting dilakukan menjelang maghrib, ketika hanya tersisa cahaya selama 15 menit.” Begitu pula suasana muram yang senantiasa menyelimuti ruang di dalam rumah sehingga turut membangun suasana yang mencekam. Ancaman kekerasan seakan-akan mengendap-endap di balik kegelapan.

Gambar: KawanKawan Media

Selain itu, perabot rumah serta foto-foto lawas di dinding menyiratkan kebekuan. Waktu seakan mandek, nyaris tak ada perubahan. Sebagaimana Purna yang tak hendak menanggalkan kekuasaannya. Sebaliknya, ia berupaya terus mengawetkan kekuasannya. Purna, misalnya, masih mampu memerintahkan tentara untuk memulangkan Rakib yang minggat demi mencari pekerjaan di luar negeri. Akibatnya, Rakib seperti terperangkap dalam kekuasaan yang terus mengimpitnya sebagaimana nasib warga yang hidup di negara yang represif serta otoriter.

Hal lain yang menjadi pertimbangan juri dalam penilaian adalah bagaimana film ini   menunjukkan wajah kekuasaan yang penuh kesantunan tapi sekaligus menyembunyikan kekejian: sosok Purna yang dengan penuh empati menemui keluarga korban yang ia habisi. Selain itu, ia suka berkaraoke meski tak segan mengancam dan mengintimidasi orang-orang yang dianggap menghalangi ambisinya. Karena itulah film ini menjadi pengingat bahwa kekuasaan mesti dikontrol agar tak menjadi korup serta melahirkan kekerasan yang keji.


Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah TEMPO edisi 19-25 Desember 2022. Penulis adalah anggota dewan juri dalam Film Pilihan Tempo 2022.

(Visited 387 times, 1 visits today)