Apakah riwayat sinema telah tamat? Inilah pertanyaan yang menghantui para sarjana film tatkala gemuruh teknologi digital mengubah produksi dan konsumsi gambar bergerak. Ada dua simpul jawaban atas pertanyaan yang menohok itu. Simpul pertama adalah ratapan terhadap kematian budaya sinema. Sebaliknya, simpul kedua, justru perayaan terhadap geliat cinephilia—sebentuk kecintaan tak terpemanai pada sinema. Tak aneh, jika kritikus film kondang Jonathan Rosenbaum memberi tajuk bunga rampai eseinya, Goodbye Cinema, Hello Cinephilia (2010). Meruyaknya Internet, media sosial dan teknologi digital dianggap justru memekarkan cinephilia karena kini film bisa dinikmati di sembarang waktu dan tempat.
Dua puluh enam tahun silam, eseis kondang Susan Sontag dalam tulisannya di harian New York Times edisi 25 Februari 1996 meratapi sinema yang merosot menjadi ‘seni yang dekaden’ justru ketika menapaki alaf kedua puluh satu. Bagi Sontag, sinema mungkin belum tamat, tapi cinephilia bakal terkubur. Ini berbeda dengan filsuf posmodernis Perancis, Jean Baudrillard (1929-2007), yang menyebut hanya sinema yang masih mempesonanya ketimbang tontonan yang lain. Baudrillard menjuluki sinema sebagai ‘sihir putih’ yang berbeda dengan ‘sihir hitam terorisme,’ meski keduanya mampu mencengangkan massa. Pengakuan Baudrillard menggarisbawahi pesona sinema tak pernah sirna ditelan masa.
Karena itu, Steven Shaviro dalam The Post Cinematic Affect (2010) menyebut film bakal terus diproduksi di abad keduapuluh satu, kendati film bersama dengan televisi telah membentuk sensibilitas kultural pada abad sebelumnya. Tentu, film beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital demi melayani penontonnya yang ekologinya telah berubah. Sejumlah perangkat digital yang berwatak visual sejatinya banyak menggunakan kaidah sinematografi seperti halnya video games.
Filsuf tersohor Slovenia, Slavoj Zizek, pernah menyatakan sinema adalah ‘seni yang tak senonoh’ (pervert art). Menurutnya,”Sinema tak memberimu apa yang kamu hasratkan, melainkan memberitahumu bagaimana berhasrat.” Zizek, yang dijuluki ‘Elvis-nya teori kultural,’ pernah membintangi film dokumenter besutan Sophie Fiennes yang bertajuk provokatif ‘Panduan Tak Senonoh Untuk Sinema’ (A Pervert’s Guide to Cinema, 2006). Dalam dokumenter ini, Zizek membentangkan penjelasan yang kental diwarnai pendekatan psikonalisa lewat adegan reka-ulang persis sebagaimana film yang tengah diulasnya. Misalnya, tatkala menjelaskan film klasik besutan Alfred Hitchcock The Birds (1963), Zizek berbicara menatap ke kamera sembari mendayung sampan menuju ke pulau yang tampak samar di kejauhan.
Pertanyaannya kemudian: Apakah mekarnya cinephilia mengubah kuasa mereka yang selama ini punya otoritas menilai film? Di era yang kian terkoneksi dalam jejaring digital, wibawa dan peran kritikus film yang bersemayam di bawah media arus utama sejatinya telah memudar. Siapa pun kini bisa mengunggah komentar dan ulasannya ke akun media sosialnya atau media daring begitu usai menonton film. Tak ada lagi redaktur yang bertindak sebagai ‘penjaga gawang’—sang pemberi kata putus layak atau tidaknya tulisan itu diunggah.
Tak urung, bobot ulasan sebuah film tidak lagi ditakar menurut kecanggihan analisanya. Tapi kemampuannya mengungkapkan keintiman pengalaman menonton film. Inilah yang dibagi lewat media sosial atau Internet dan lantas menuai rasa suka atau benci dari penonton lain. Dengan kata lain, tengah terjadi ‘demokratisasi’ kritik film ketika pembakuan selera maupun estetika tak lagi bertahta.
Kini, ada kesetaraan dalam menafsir film dan pluralitas pandangan yang dibentuk oleh keunikan pengalaman seseorang serta lingkungan tempat ia tumbuh. Maka, lahirlah heterodoksi; bukan ortodoksi dalam memaknai film. Patokan baku dalam menilai film kini meluruh, seiring dengan terbukanya peluang siapa pun membuat film karena berkah teknologi digital.
Berbagi pengalaman menonton film, mendorong terbentuknya ‘komunitas’ yang memiliki kepekaan serupa dalam menonton film. Proses berbagi ini menihilkan hirarki otoritas dalam menilai film. Di titik ini, kecintaan pada sinema bak menemukan mitra sejatinya. Karena itu, secara perlahan terpupuk pula pengetahuan yang kian mendalam tentang sinema.
Lantas, apakah ini berarti memberi penghargaan pada film dalam sebuah festival sebentuk kesia-siaan? Festival film semestinya dimaknai bukan sebagai ajang kompetisi. Tapi sebentuk perayaan cinephilia dan momen bagi perjumpaan yang intim antara pembuat film dengan penontonnya. Penghargaan yang dipersembahkan kepada film tertentu bukanlah simbol dari puncak estetika yang terpahat di atas cadas. Tapi ungkapan keterpukauan pada film yang mampu menggetarkan sensibilitas kita. Entah film itu menyeret kita kepada permenungan ihwal hakikat kemanusian; entah menggugah solidaritas pada sesama.
Di mata filsuf Italia Giorgio Agamben, sinema bukanlah kumpulan citra (images), melainkan medium yang mengembalikan gesture sebagaimana ditorehkan dalam eseinya “Notes on Gesture” (2000). Dengan kata lain, potensialitas dalam sinema jauh lebih penting ketimbang sekadar elemen audio-visualnya. Kita tahu, telah lama sinema dilihat lebih dari perkara visual yang hanya mengabdi pada indra penglihatan. Sinema juga soal gerak, aliran, energi atau intensitas, artikulasi ritmis waktu dan durasi.
Bagi Agamben, sinema mengombinasikan gagasan etis dan tindakan politis. Ini karena sinema memungkinkan mengimajinasikan kemanusiaan dan pelbagai bentuk baru kehidupan, gesture serta pengalaman. Selain itu, sinema memungkinkan kritik terhadap hukum beserta aparatusnya yang telah mendefinisikan hidup dan apa yang bisa dihidupi.
Sementara itu, kritikus film Perancis Jean Epstein (1897-1953) dalam eseinya ‘Bonjour Cinema’ (1921) menulis begini, “Cinema is true. The story is lie“. Agaknya, bagi Epstein, sebagai medium sinema tak pernah berdusta. Tapi kontennya bisa menjadi sumber kebohongan. Tak aneh, jika filsuf Jacques Ranciere yang menulis Film Fables (2006) menyatakan kamera merekam apa dikehendaki oleh sutradara, tapi juga menangkap apa yang tak disadarinya. Dengan kata lain, sinema tak sepenuhnya takluk dalam kuasa sang sutradara karena aparatus teknis sinema selalu memiliki peluang untuk menyimpang dari kendalinya.
Bahkan, ketika film dipertunjukkan sesungguhnya tak pernah ada garansi penonton bakal menafsir persis seperti yang dikehendaki oleh pembuatnya. Di mata sutradara Iran Abbas Kiarostami (1940-2016), sinema tak ubahnya teka-teka teki silang kosong yang mesti diisi oleh penontonnya. Di sini sinema justru menghangatkan perbincangan—dan lantas kecintaan—di kalangan penontonnya. Sebagaimana filsuf Jean Baudrilard mengatakan, “Jika Anda menginginkan sinema menjadi vektor bagi sejumlah makna, maka Anda hanya akan mendapati sebuah film buruk yang pernah dibuat.”
Pada dataran yang lebih luas, sinema senantiasa mampu menerabas batas-batas picik nasionalitas di tengah kian mengerasnya tapal batas dan menajamnya perbedaan kultural. Sebagaimana Kiarostami pernah berujar, sinema senantiasa mampu mencerap kultur yang terbebas dari perspektif yang hanya terpaku pada tempat kita berpijak. Maka, merayakan cinephilia berarti terbuka terhadap kultur yang serbaneka dan berani mendobrak pejalnya tapal batas.