Sexy Killers | 2019 | Durasi: 89 menit | Sutradara: Dandhy Dwi Laksono & Suparta Arz | Produksi: WatchDoc | Negara: Indonesia
Sekilas membaca judul Sexy Killers, barangkali Anda membayangkan film laga dengan tokoh perempuan yang memikat namun mematikan. Persis film-film laga Indonesia yang merajai bioskop era 1980an dan 1990an. Bintang-bintang ‘panas’ seperti Dana Christina, Yati Octavia, Eva Arnaz, Sri Gudhi Sintara, Enny Beatrice dan seterusnya bertaburan di film-film itu. Selain mempertontonkan adegan adu jotos, kebut-kebutan, letusan pistol, dan ledakan bom, film bergenre laga semacam itu juga mengeksploitasi tubuh perempuan untuk memuaskan hasrat penonton.
Tapi Sexy Killers jauh dari eksploitasi tubuh perempuan. Dokumenter ini menyodorkan ‘eksploitasi’ yang lain: pengerukan sumber daya mineral yang abai dengan petaka yang mengiringinya. Dokumenter besutan duo aktivis WatchDoc, yakni Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz, adalah seri kedua belas dari Ekspedisi Indonesia Biru yang menjelajahi daerah-daerah pelosok Indonesia sejak Januari 2015. Seri dokumeter sebelumnya mengangkat ragam persoalan seperti rencana pendirian pabrik semen di Rembang, reklamasi Teluk Benoa, pantai utara Jakarta, dan banyak lagi.
Mesti diakui, dokumenter WacthDoc senantiasa jeli memilih isu dan lihai mencuri perhatian publik. Dibandingkan karya mereka sebelumnya, Sexy Killers menempati posisi puncak dari segi jumlah penonton. Setidaknya lebih dari 22 juta orang telah menonton Sexy Killers di kanal YouTube sejak diunggah pada 14 April 2019 — tiga hari menjelang pemilihan serentak presiden dan anggota legislatif. Jumlah penonton itu tak termasuk pemutaran di komunitas atau sekolah yang menjangkau lebih dari 400 titik pemutaran di seluruh tanah air. Tak urung Sexy Killers mengundang reaksi dari pihak-pihak yang namanya disebut dalam film ini—beberapa di antaranya menuduh si pembuat film mengampanyekan golput pada pemilu serentak 2019.
Petaka Batubara
Sexy Killers dibuka dengan adegan pasangan yang tengah berbulan madu di sebuah kamar hotel. Alih-alih mempertontonkan keintiman pasangan yang diselimuti kemesraan itu, yang justru ditunjukkan adalah rincian konsumsi listrik yang berasal dari aktivitas pasangan: menghidupkan AC, mengeringkan rambut, menulis di laptop, menyalakan televisi, dan seterusnya. Lewat tuturan juru cerita (narrator), penonton diusik dengan pertanyaan soal sumber energi listrik. Jawaban pertanyaan itulah yang sesungguhnya menjadi bangunan narasi Sexy Killers.
Adegan melompat ke areal pertambangan yang memperlihatkan sejumlah ledakan sebagai bagian dari proses ekstraksi batu bara. Kendaraan berat seperti truk dan traktor berwarna kuning tampak hilir-mudik. Perut bumi digali serta dikeruk untuk menemukan batu bara yang kelak menjadi bahan bakar bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Narasi lantas bergulir mendedahkan efek dari penambangan batu bara, dampak ketergantungan pada bahan bakar fosil sebagai sumber energi, serta gurita bisnis di baliknya.
Akibat dari penambangan batu bara mulai pelan-pelan dikuak dari lubang bekas galian tambang yang tak direklamasi atau ditimbun sehingga kerap mencelakakan orang. Ada banyak anak yang mati tenggelam di lubang-lubang tersebut. Selain tak ada pagar penghalang, lubang bekas galian yang telah berubah menjadi kolam raksasa itu berada di dekat pemukiman atau sekolah.
Sejumlah footage menunjukkan duka para ibu yang anaknnya mati tenggelam di lobang bekas galian tambang. Ketika persoalan lobang bekas galian tambang itu diangkat dalam debat calon presiden di televisi pada 17 Februari silam, kedua kandidat—Prabowo Subianto dan Joko Widodo—tampak tak menunjukkan keprihatinan, komitmen, atau rencana yang jelas untuk mengatasinya. Bahkan mereka terkesan enggan membicarakannya lebih jauh meski masih ada sisa waktu dalam debat.
PLTU memang memasok kebutuhan energi listrik yang masih diperlukan masyarakat Indonesia. Namun, ia juga melahirkan persoalan baru. Masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU mesti menanggung debu yang berterbangan dari cerobong. Lewat animasi dan pengakuan korban, dokumenter ini mempertontonkan bagaimana dalam jangka panjang zat berbahaya dalam partikel debu itu bisa mengancam kesehatan, kendati belum ada riset yang secara khusus membuktikannya.
Di samping menggambarkan petaka ekologis dan sosial, Sexy Killers mengulik mesranya bisnis tambang dan politik. Bisnis tambang batu bara menarik para pengusaha dan penguasa mengingat keuntungannya yang menggiurkan. Permintaan atas pasokan batu bara masih tinggi. Ongkos eksplorasinya juga relatif ‘murah’, karena masyarakat sekitar—alih-alih pengusaha—mesti menanggung biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Lewat dokumenter ini, penonton bisa paham bahwa bisnis tambang batu bara tak lebih dari kepanjangan dari oligarki politik. Dengan kata lain, mereka yang terlibat di bisnis tambang wajahnya telah kita akrabi di pentas politik selama ini. Pada titik ini, muatan Sexy Killers bergaung mesra dengan kontes pemilihan presiden 2019—satu paslon dengan paslon lainnya saling terhubung kendati bersaing sengit dalam pemilu. Di sinilah kita menemukan pesan penting dokumenter ini: siapapun pemenang pemilu, masyarakat sudah pasti kalah, karena kebijakan publik untuk sektor pertambangan atau energi tak akan berubah banyak
Nasib Perlawanan
Proses eksploitasi tambang yang menciptakan korban itu tentu memantik protes dan perlawanan dari masyarakat. Bentuknya macam-macam, mulai dari perlawanan individual, aksi blokir jalan, hingga tuntutan di pengadilan. Sejumlah footage menunjukkan betapa militannya protes dan perlawanan para warga yang terdampak dan mereka yang menaruh kepedulian terhadap problem-problem lingkungan serta nasib korban. Sayangnya, perlawanan acapkali buntu dan gagal di hadapan kekuasaan. Mereka yang protes justru mengalami kriminalisasi dan ancaman bui.
Tak semua protes berakhir dengan kegagalan. Aksi yang diorganisir aktivis lokal dan nelayan yang disokong aktivis Greenpeace rupanya cukup berhasil. Usai menggelar protes di PLTU Celukan Bawang, Buleleng (Bali), kapal Rainbow Warrior yang ditumpangi aktivis Greenpeace bertolak ke wilayah konservasi laut di Karimun Jawa untuk meneruskan aksinya. Selama ini sejumlah tongkang pengangkut batu bara berlalu-lalang dan acap melempar sauh di wilayah koservasi itu sehingga merusak terumbu karang di bawah laut. Tak aneh, para aktivis Greenpeace menyemburkan cat ke lambung tongkang. Pesannya: Coral Not Coal.
Sexy Killers membangun kesan bahwa protes masyarakat lokal tak cukup efektif mengubah kebijakan, kecuali jika mereka beraliansi dengan organisasi internasional. Salah satu adegan menunjukkan aktivis Greenpeace mengingatkan nahkoda tongkang pengangkut batu bara lewat komunikasi radio untuk menghentikan operasinya di kawasan konservasi yang memiliki banyak terumbu karang. Dalam ultimatumnya, Greenpeace menyatakan bakal melakukan aksi damai menyemprot cat ramah lingkungan ke lambung tongkang bersama para jurnalis yang meliput aksi. Menurut para nelayan, protes ini rupanya ampuh mengurangi tongkang yang melewati kawasan konservasi di Karimun Jawa.
Otoritas Juru Cerita
Sexy Killers sekilas lekat dengan tradisi dokumenter televisi yang cenderung berwatak ekspositoris ketimbang observasional[i]. Salah satu karakteristik yang nampak adalah kehadiran sang juru cerita (narator). Kendati pembuat film dokumenter memiliki alasan sahih menggunakan narator, ada ruang tafsir bagi penonton yang terasa terenggut. Boleh jadi pembuat film menganggap narator diperlukan karena ia mesti menjelaskan isu yang terlampau kompleks atau merekatkan bagian yang terkesan terpisah menjadi narasi yang koheren. Tentu saja, dengan terbatasnya durasi film, ada risiko penyederhanaan persoalan yang kompleks demi memberi kejelasan kepada penonton.
Penggunaan voice over sering dipandang sinis dan dilabeli voice of god (suara Tuhan), karena sang juru cerita dikesankan sebagai pihak mahatahu serta memiliki otoritas di hadapan penonton. Bahkan, penonton seakan mesti mengamini penjelasan sang narator. Suatu ketika, kamera merekam seorang petani transmigran di pinggiran Samarinda (Kalimantan Timur) yang tinggal di dekat lokasi penambangan batubara. Sang petani rupanya sedang mandi dengan air sungai kecil yang kotor. Sang narator berujar: “Dan di kampung ini, air bersih sudah lama menjadi sejarah.”
Kehadiran sang juru cerita tidaklah keliru jika memang Sexy Killers memang dirancang sebagai bagian dari praktik instruksional, propaganda, atau advokasi.[ii] Sangat lazim jika dokumenter advokasi didesain dan ditujukan untuk mempengaruhi pikiran dan tindakan penonton. Meski porsinya masih terbatas, Sexy Killerssebetulnya telah menggunakan beragam cara kreatif untuk melengkapi voice over, mulai dari animasi, intertitles, pernyataan langsung dari subjek, dan seterusnya.
Selain itu, Sexy Killers juga menggunakan teknik wawancara yang cenderung membimbing jawaban subjek yang diwawancarai ke arah tertentu. Pewawancara mengajukan pertanyaan retoris, misalnya, “Ini gambaran konflik yang terjadi jika kita salah memilih energi?”. Ada pula pertanyaan yang jawabannya gampang ditebak: “Setelah tergusur, hidup lebih sejahtera atau tidak?”
Kita mahfum bahwa pertanyaan semacam itu tak lebih dari meminta afirmasi dari subjek yang diwawancarai, ketimbang sungguh-sungguh mewakili keingintahuan penonton.
Representasi Korban
Berbeda dengan film cerita fiksi, dokumenter senantiasa ditagih komitmen etisnya. Pasalnya, dokumenter melibatkan subjek yang riil dan memiliki pengalaman nyata, tidak seperti aktor yang melakoni karakter dalam cerita. Para subjek akan terdampak setelah film selesai dibuat. Apalagi jika dokumenter itu kelak memunculkan persoalan. Yang terpenting, film dokumenter pantang mengeksploitasi subjek demi menciptakan efek dramatis dari narasi yang diusungnya.
Kendati diharapkan memiliki kedekatan dengan subjek, pembuat film dokumenter tetap perlu menjaga agar dirinya tak terlampau instrusif atau masuk ke area yang terlalu jauh sehingga menganggu subjeknya. Di sisi lain, subjek perlu memberikan persetujuan tatkala direkam. Namun, tetap penting bagi pembuat film untuk mempertimbangkan pengalaman korban yang hendak direpresentasikannya dan menakar sejauh mana ia tak melakukan representasi yang keliru.
Oleh karena itu, tatkala kamera menyorot Novianti, warga Panau (Palu) yang tinggal di dekat PLTU dan menderita kanker tenggorokan dan kesulitan bicara, saya sebagai penonton merasa iba, bahkan seperti ikut sesak nafas. Barangkali suara tanpa visualisasi saja sudah cukup meyakinkan penonton betapa pedih derita yang ditanggung korban. Bagaimanapun, jika tak berhati-hati mengetengahkan kondisi korban, film dokumenter bisa terjerembab dalam sikap kurang empati pada kondisi korban seperti yang telah ditunjukkan konten-konten berita di stasiun televisi tanah air.
Sebaliknya, wawancara yang menggali respon penguasa lokal terhadap korban menarik dan mengusik penonton. Dalam sebuah sesi wawancara, Isran Noor—Gubernur Kalimantan Timur—secara terang-terangan menunjukkan sikap pemilik otoritas yang cenderung mengerdilkan penderitaan korban. Tak hanya miskin empati, sikap sang gubernur menyiratkan betapa nilai ekonomis tambang batu bara jauh baginya melampaui nilai-nilai kemanusian. Kemalangan warga di sekitar lokasi pertambangan sekadar dianggap nasib buruk belaka, alih-alih sebagai dampak dari absennya kebijakan yang melindungi warga.
Menagih Akuntabilitas
Sexy Killers sayangnya hanya memberi sedikit porsi tentang ikhtiar pengembangan energi alternatif terbarukan di tanah air. Ada sedikit contoh sukses Gung Kayon di Bali dan komunitas-komunitas lainnya yang menggunakan energi matahari lewat panel surya. Dalam kalkulasi ekonomi, energi alternatif memang masih terbilang mahal dibandingkan bahan bakar fosil. Kendati demikian, dalam jangka panjang biaya kerusakan ekologis bahan bakar fosil yang mesti ditanggung generasi mendatang bisa jadi sangat mahal.
Sejumlah catatan di atas tak bermaksud untuk menihilkan bobot persoalan yang diangkat. Sexy Killers sesungguhnya telah melakukan ikhtiar ‘mengimajinasikan moral’ pada penontonnya. Ia mengajak pentonton untuk berempati pada kondisi korban yang nasibnya sangat berbeda. Bahkan, ia menumbuhkan solidaritas untuk para korban serta mereka yang selama ini peduli pada kelestarian lingkungan. Sexy Killers nampaknya berhasil menjadi cinema of accountability[iii] yang menguatkan hak-hak warga negara dengan cara menagih akuntabilitas pihak yang memiliki otoritas.
Tulisan ini pernah dimuat dalam laman cinemapoetica.com pada 3 Juni 2019
Sumber gambar: kanal YouTube Watchdoc
Catatan Kaki
[i] Tipologi ini dipakai Bill Nichols untuk menyebut moda dalam film dokumenter (modes of documentary), kendati tipologinya menuai sejumlah kritik karena menafikkan kemungkinan pembauran dan cenderung bias pada dokumenter refleksif sebagai puncak perkembangan dokumenter. Lihat, Bill Nichols, Introduction to Documentary, edisi ketiga, (Bloomington: Indiana University Press, 2017).
[ii] Patricia Auferheide membedakan dokumenter propaganda dan dokumenter advokasi menurut pihak yang mensponsorinya. Dokumenter propaganda lazimnya disponsori pemerintah atau pihak yang memiliki kekuasaan. Sedangkan dokumenter advokasi diusung kalangan aktivis untuk menyuguhkan narasi tandingan terhadap narasi arus utama yang dipropagandakan penguasa. Meski demikian, keduanya menggunakan teknik persuasi dan digunakan untuk mewujudkan agenda tertentu. Simak, Patricia Auferheide, Documentary Film: A Short Introduction (Oxford & New York: Oxford University Press, 2007).
[iii] Istilah ini digunakan oleh Rahat Imran untuk menyebut praktik dokumenter para aktivis di Pakistan dalam melawan proses ‘Talibanisasi’ yang memaksakan pemberlakuan hukum Islam dalam masyarakat. Baca, Rahat Imran, Activist Documentary Film in Pakistan: The Emergence of a Cinema of Accountability (London & New York: Routledge, 2016).