Articles

By Budi Irawanto

MELAYARKAN SASTRA: SEBUAH PROBLEM

Mendiang Romo Y.B. Mangunwijaya pernah merasa masygul ketika Ami Prijono pada 1982 membuat film dari novelnya, Roro Mendut. Ia kecewa terhadap tafsir Ami Prijono atas novelnya. Akibatnya, Romo Mangun menampik Namanya dicantumkan sebagai penulis cerita. Jauh sebelumnya Armijn Pane menuai kekecewaan tatkala Dr Huyung memfilmkan karyanya, Antara Bumi dan Langit, pada 1950. Persis seperti Romo Mangun, Armijn menolak Namanya disebut sebagai penulis cerita. Dua kasus ini sekadar mengguratkan peliknya mengadaptasi karya sastra ke film. Tapi rupanya para pembuat film tak pernah surut memfilmkan karya sastra.

Menarik dicatat, sepanjang tahun ini, sejumlah film di Tanah Air diilhami atau diadaptasi dari karya sastra. Film terlaris tahun ini, Surat Kecil Untuk Tuhan, yang meraih 748.842 penonton, diangkat dari novel Agnes Donovar. Bahkan dua film lain diangkat dari sastra kanon: Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka dan trilogi Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk. Dengan banyak perombakan, karya Buya Hamka, Di Bawah Lindungan Ka’bah, tak ubahnya kisah kasih tak sampai antara Hamid dan Zainab berlatar kehidupan Minang pada 1920-an. Sedangkan Sang Penari, yang diilhami karya Ahmad Tohari,  berhasil mengangkat kisah asmara Srinthil-Rasus di tengah kemelut politik 1965. Kita masih bisa berharap satu film lagi yang tengah dalam proses produksi yang diangkat dari tetralogi kondang Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia.

Sepanjang sejarah sinema Indonesia, sastra dan film telah lama berkarib. Pada 1929, film Njai Dasima dibuat berdasarkan kisah yg ditulis oleh G. Francis, dan Si Tjonat diangkat dari cerita bersambung yang dimuat di koran Perniagaan pada 1903.  Di “era keemasan” film Indonesia (1970-an dan awal 1980-an), misalnya, banyak film dibuat berdasarkan novel popular. Sebutlah nama novelis kondang seperti Marga T., Ashadi Siregar, Motinggo Boesje, Eddy D. Iskandar, Ike Soepomo, Mira W., Titie Said. Berderet film diilhami buah tangan para novelis kondang itu: Karmila (1974), Cintaku di Kampus Biru (1976), Sejuta Duka Ibu (1977), Gita Cinta dari SMA (1979), Kabut Sutra Ungu (1979), Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi (1980), dan Jangan Ambil Nyawaku (1981).

Beberapa tahun belakangan, kita menemui sejumlah film mendulang dan mengulang sukses novel populer karya Habibburahman El Shirazy, Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Ketika Cinta Bertasbih (2009), serta karya Andrea Hirata, Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009). Tak main-main, Laskar Pelangi mampu menyedot 4.606.785 penonton, rekor jumlah penonton terbesar sepanjang sejarah sinema Indonesia. Jumlah penonton ini jelas melebihi pembaca novel Laskar Pelangi. Ini menunjukkan sastra bisa menjadi sumber kreativitas bagi sineas sekaligus tambang emas bagi para produser.

Mengapa sinema gampang bersekutu dengan sastra? Filsuf kondang Perancis, Alain Badiou, dalam bukunya The Handbook of Inaesthetics (2005), menyebut film sebagai “seni yang tak murni” (impure art). Ini karena film mencomot pelbagai anasir dari beragam cabang kesenian, termasuk sastra. Tak aneh jika sinema kerap disebut juga sebagai cabang”seni ketujuh” (seventh art) atau pamungkas bagi cabang seni yang kita kenal. Tapi, bagi Badiou, sinema tak memiliki esensi. Maka sinema bekerja berdasarkan prinsip “pengurangan” (subtraction) ketimbang penjumlahan (summation) dari pelbagai cabang kesenian. Badiou juga menyebut sinema sebagai “seni massa” (mass art), yang memungkinkan orang kebanyakan memiliki akses terhadap karya seni adiluhung, termasuk sastra.

Tak seperti sangkaan banyak orang, sinema sesungguhnya memiliki kesamaan dengan sastra ketimbang drama. Sebuah drama yang dipentaskan ulang tak pernah bisa sama persis, meski dengan aktor dan cerita yang sama. Lakon drama barang kali abadi, tapi proses produksinya senantiasa baru. Sebaliknya, karya sastra yang dibaca dan film yang ditinton pada 1940-an akan tetap sama ketika ditonton saat ini. Bahkan teoritikus film Sergei Einstein pernah menganalisis bahwa teknik montage exposition dalam film D.W. Griffith bentuk awalnya bisa ditemukan dalam novel Charles Dickens, Oliver Twist. Betapa dekatnya sastra dan sinema, sineas Pernacis, Francois Truffaut, sampai pernah berujar, “Saya tidak akan membuat film untuk mereka yang tak pernah membaca.”

sang penari
Kredit gambar: Salto FIlms

Tentu mengangkat karya sastra ke layer perak bukan tanpa soal. Apa boleh buat, soalnya terletak pada beda penafsiran. Romo Mangun menampik akhir film Ami Prijono yang fatalistik: Roro Mendut melakukan bunuh diri. Akibatnya, simbol pemberontakan perempuan dalam novel Romo Mangun sirna. Begitu pula novel karya Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, sebelumnya ditafsirkan Yasman Yazid dengan menonjolkan sensualitas Eny Beatrice lewat filmnya, Darah dan Mahkota Ronggeng (1983). Akibatnya, ketegaran sosok penari ronggeng dan daya hidup rakyat bawah menguap dari film Yasman.

Di sisi lain, film tak selalu berhasil memuaskan pembaca fanatik karya sastra. Film cenderung meringkas dialog yang berlarat-larat, menyusupkan karakter baru, mengimbuhi dramatisasi atau malah mengubah plot. Film juga memangkas majas, metafora, dan arus kesadaran yang lazim kita temui dalam novel. Tontonlah film Laskar Pelangi dan bandingkanlah dengan novelnya. Anda barangkali pernah mendengar nasehat ini: jangan menonton filmnya jika sudah membaca novelnya. Begitu pula sebaliknya. Nasehat ini hanya cocok bagi mereka yang masih menganggap sinema sekedar perpanjangan dari sastra atau sinema kalah derajatnya dari sastra.

laskar pelangi
Kredit gambar: Miles Films

Harus pula dicatat, kemajuan teknologi yang akrab dengan film tak banyak pengaruhnya pada sastra. Lihatlah film-film Hollywood mutakhir yang memamerkan teknologi 3 dimensi (3D). Tak aneh jika senantiasa ada pasar baru bagi film klasik yang dibuat ulang meski dengan kemasan baru. Kita tahu film senantiasa dibuat dengan kaidah industri untuk konsumsi massal. Sedangkan sastra lebih sebagai kreasi individual untuk pembaca, yang kerap terbatas.

Apapun soalnya, karya sastra jelas menyediakan bahan buku cerita yang kaya bagi sinema. Dan cerita, kita tahu, adalah tulang punggung sebuah film. Tanpa cerita yang baik, muskil berharap akan lahir film yang memukau. Sebagaimana sineas termasyhur Jepang, Akira Kurosawa yang dengan cemerlang pernah mengadaptasi cerpen Ryonosuke Akutagawa dalam Rashomon, pernah menyatakan seorang sutradara yang pas-pasan bisa menghasilkan film yang baik dari skenario (cerita) yang cemerlang. Sebaliknya, sutradara yang hebat mustahil menghasilkan film yang baik dari skenario yang buruk.

Mengubah jagat kata ke dalam bahasa gambar tentu tak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan kemampuan mentransformasi sastra ke dalam imaji fotografis dan gagasan keruangan berdasarkan kaidah penyuntingan atau montase. Dengan kata lain, kecerdasan menafsir ulang karya sastra. Bagaimanapun, sudah saatnya sineas kita mengakrabi sastra. Tak ada salahnya belajar dari sineas Iran, yang banyak menggali khazanah puitika Persia, yang melahirkan gaya kekisahan yang khas. Setelah film Sang Penari, kita berharap bakal banyak lagi karya sastra mewarnai sinema kita. Ini agar sinema kita tak terus menerus didera oleh kemiskinan tema dan kedangkalan cerita.


Sumber gambar header Sang Penari: cinemapoetica.com

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah TEMPO edisi  11 Desember 2011

 

(Visited 234 times, 1 visits today)