Menyoal Kelindan Sinema dan Ideologi[1]
Diterbitkan oleh DIVA Press (Yogyakarta, 2023), 386 halaman
Buku Sinema dan Pascanasionalisme: 17 Esai dalam Dua Bagian karya Seno Gumira Ajidarma dibuka dengan sebentuk peringatan bagi pembaca: “Ini bukan buku tentang film—sebagaimana tiada yang melebihi film dalam menanggung beban nasionalisme Indonesia” (hal.ix). Tentu, peringatan ini mesti hati-hati dicerna. Ini karena bagian pertama buku ini justru berisi delapan bab ihwal sinema yang dilihat dari pelbagai sisi: teknologi, bahasa, representasi, kebintangan, industri dan ekonomi budaya. Pendeknya, bagian pertama buku ini—yang diracik dari artikel di jurnal kampus, majalah serta naskah yang belum pernah diterbitkan—menjadi semacam ‘pengantar’ bagi pembaca yang awam dengan persoalan sinema. Bagian pertama ini agaknya juga diniatkan menjadi bekal pembaca sebelum menyelami lebih dalam soal sinema nasional di bagian kedua buku ini.
Pertanyaannya lantas: di mana persisnya perkara ideologi ditelaah dalam buku ini? Juga, apa sejatinya pertautan antara sinema dan ideologi? Ada dua bab dalam buku ini yang secara tersurat menggunakan kata ‘ideologi’ dalam tajuknya. Yakni, Bab 3 yang bertajuk “Ideologi dalam Representasi” (hal.33-48) dan Bab 5 bertajuk “Ideologi dalam Artikulasi” (hal.61-70). Meski demikian, dalam Bab 3 tersebut pembaca bakal tak menemukan pengertian ideologi, melainkan paparan ihwal pertautan antara ideologi dan realisme dalam film. Pada Bab 5, Seno menyitir gagasan ideologi dari filsuf Marxis, Louis Althusser (1918-1990), yang memformulasikan ideologi tak berhenti pada konsep abstrak, melainkan bagian dari praktik sehari-hari. Kendati pada bab-bab yang lain tak secara tersurat menggunakan tajuk ideologi, senantiasa ada ihktiar mengaitkan pembahasan sinema dengan ideologi.
Karena itu, marginalia (catatan pinggir) ini hendak membincang lebih jauh persoalan ideologi dan pertautannya dengan sinema, termasuk nasionalisme sebagai wujud spesifik dari ideologi yang membentuk sinema nasional. Sebagaimana dipaparkan di pengantar awal penulis buku ini, film Indonesia menanggung beban nasionalisme. Tak hanya berlaku di Indonesia, identitas ‘nasional’ acap dinisbatkan pada sinema demi membedakannnya dengan sinema yang lain. Akan tetapi, sebelum menukik lebih dalam soal nasionalisme, penting menelisik terlebih dahulu perkara ‘ideologi’ yang diklaim sebagai esensi buku ini.
Harus diakui, sejak awal Seno tak berambisi menyodorkan pengertian yang definitif serta komprehensif ihwal ideologi. Karenanya, ia tak membentangkan beragam konseptualisasi teoritik ideologi dari sejumlah filsuf atau teoritisi. Ideologi agaknya begitu saja diterapkan sebagai konsep kerja (working concept) dalam mengulas pelbagai pokok soal yang dibabar dalam buku ini. Sebagaimana Seno menulis,”Ideologi bisa disadari dan bisa pula tidak, dalam hegemoni wacana diandaikan terdapat makna ideologis yang mengarahkan praktik dan teks budaya” (hal.67). Dengan demikian, “[I]deologi terus-menerus menyodok dan disodokkan dari satu artikulasi ke artikulasi yang lain” (hal.68). Kendatipun Seno menyebut ideologi bisa ‘disadari dan bisa pula tidak [disadari]’ rupanya ia cenderung memaknai ideologi itu sebagai ‘ketaksadaran’ atau bersifat ‘bawah sadar.’
Tak aneh, ideologi lantas bersifat ‘ilusif’ atau penuh dengan ‘kibul’ sebagaimana gagasan klasik Karl Marx (1818-1883) tentang ideologi. Kita tahu, bagi Marx, ideologi merupakan kesadaran palsu yang digunakan untuk mengelabui kaum buruh agar tidak memberontak. Ketika Seno membincangkan gagasan realisme dalam film Hollywood yang disebutnya mengusung ‘realisme kibul’ (seamless realism) yang berpunggungan dengan ‘realisme estetik’ (aesthetic realism), ada fungsi ideologis yang bekerja. Realisme kibul memiliki fungsi ideologis menyamarkan ilusi realisme dengan menciptakan efek realisme (realism effect), sedangan realisme estetik menimbang kegunaan realisme dalam kemampuannya bagi suatu pembacaan atas realitas.
Persoalan realisme yang acap dikaitkan dengan ideologi itu telah lama menjadi silang sengketa di kalangan kritisi serta akademisi film. Kita tahu, estetika realisme masih juga mewarnai pembacaan terhadap film. Lazimnya perdebatan realisme dalam film itu berkisar pada upaya membandingkan representasi filmis (filmic representation) dengan realitas eksternal (external reality) yang dirujuk oleh teks film. Tentu, argumen realisme naif mengenai sinema itu gampang disanggah dengan menyodorkan perkara ‘mediasi’ (mediation). Yakni, setiap ikhtiar mengarahkan kamera film pada suatu objek melibatkan proses memilih dan menyeleksi, sehingga melahirkan ‘dunia’ bak dilihat dari jendela. Inilah dunia yang telah dibingkai serta dipermolek lewat pilihan kreatif sang pembuat film serta diimposisikan sebagai impresi tentang realitas eksternal yang ditangkap oleh penonton film.
Meski demikian, realisme lebih dari sekadar perkara representasi semata. Sebagaimana penulis film Inggris Colin MacCabe dalam tulisannya ‘Theory and Film: Principles of Realism and Pleasure’ menyatakan, “Realism is no longer question of an exterior of reality nor of the relation to the reader to the text, but one of the ways in which these two interact. The film-maker must draw the viewer’s attention to his or her relation to the screen that are being portrayed. Inversely one could say that it is the ‘strangeness’ of the social relations displayed which draws the viewers to the fact that he or she is watching the film.”[2] (1985, hal.78).
Lebih jauh, gugatan terhadap realisme itu mencuat dari pemikiran posmodernisme yang menampik keberadaan realitas eksternal. Bagi penganut posmodernisme, dunia dilihat sebagai pola teks yang kompleks serta pengalaman yang didaurulang dan karenanya tak ada yang ‘nyata’ (real) untuk ditangkap. Sebagian teori film menampik realisme sebagai sesuatu yang progresif karena meninabobokan kita dengan ilusionisme dan presentasinya atas realitas yang dibakukan ketimbang menawarkan cara alternatif untuk melihat (dalam derajat tertentu mengubah) realitas.
Penting dicatat, pandangan tentang ideologi sebagai ‘kesadaran palsu’ yang menyelubungi realitas sesungguhnya telah lama menuai kritik. Dalam bukunya The Sublime Object of Ideology, filsuf Slovenia Slavoj Zizek menyatakan bahwa tataran fundamental ideologi bukan pada ilusi yang menopengi realitas, melainkan fantasi yang menstruktur realitas itu sendiri[3] (1989, hal.30). Karena itu, bagi Zizek, kita masih jauh dari era pasca ideologi atau ‘akhir sejarah’ (the end of history) sebagaimana prognosa ilmuwan politik Amerika Francis Fukuyama.[4] Begitu pula, situasi kita tidak seperti sangkaan kalangan yang sinis terhadap ideologi di mana mereka menganggap orang tak lagi peduli dengan ideologi.[5] Lebih lanjut, Zizek mencontohkan orang yang tahu gagasan tentang ‘kebebasan’ (freedom) itu sebenarnya menopengi bentuk tertentu eksploitasi, toh orang tetap saja mengikuti gagasan tentang ‘kebebasan’ itu.
Sementara itu, nasionalisme sebagai ideologi, termasuk pertautannya dengan sinema, banyak diulas dalam buku ini. Pada jagat akademis bisa kita temukan beragam pengertian nasionalisme mulai dari Ernest Renan[6], Anthony Smith[7] hingga Benedict Anderson[8]. Dalam buku ini, Seno mendedahkan pengertian umum dan khusus nasionalisme. Nasionalisme, dalam pengertian umum, “adalah rasa memiliki pada kelompok yang disatukan oleh ikatan rasial, linguistik, sejarah, dan biasanya dengan wilayah tertentu” (hal.351). Sementara itu, menyitir Bullock dan Reilly, pengertian nasionalisme “adalah korespondensi ideologi yang memuliakan negara-bangsa sebagai bentuk ideal organisasi politis dengan klaim atas pentingnya kesetiaan warga” (hal.351). Dari dua pengertian itu, nasionalisme berkaitan dengan soal ‘rasa memiliki’ yang bernuansa emosional (psikologis) dan ‘korespodensi ideologi’ yang kental nuansa politiknya.
Kendati demikian, dalam buku ini agaknya nasionalisme dilihat Seno lebih banyak mudaratnya ketimbang memberikan banyak faedah. Umpamanya, nasionalisme pada abad ke-19 yang agresif hanya melahirkan intoleransi dan imperialisme. Begitu pula, pada abad ke-20 nasionalisme menjadi ‘esensi fasisme’ serta ‘gerakan totalitarianism’ meski bisa pula menjadi kekuatan pembebas rakyat jajahan. Lebih gawat lagi, nasionalisme mampu menjadikan bangsa lain sebagai ‘musuh’ atau menyuntikkan kebencian pada apa yang dipandang ‘asing.’ Barangkali kita bisa merujuk contohnya pada kampanye kelompok ekstrem kanan atau ultransionalis yang anti-imigran dan menebarkan sentimen xenophobia.
Kendati buku ini banyak mendedahkan gugatan terhadap nasionalisme sebagai ideologi, agaknya ia luput menimbang pascanasionalisme itu sendiri sebagai sebuah ideologi. Pada beberapa bagian, Seno menyebut pascakolonialisme sebagai ‘kondisi’ dan ‘lanskap.’ Lebih jauh, pascanasionalisme dianggap Seno sebagai ‘reaksi kritis’ terhadap nasionalisme’ dan ‘mempertanyakan gagasan negara bangsa’ (hal.353). Atau, barangkali jika nasionalisme dipahami sesuatu yang patologis, maka pascanasionalisme merupakan penyembuhnya.
Persoalan pascanasionalisme barangkali adalah tendensinya untuk mengafirmasi fenomena globalisasi sebagai proses yang niscaya di mana “abad ke-21 akan menjadi era pascanasionalisme.” Bahkan, di pengantar awal bukunya, Seno menyatakan, [P]asca nasionalisme lahir dari keterbatasan nasionalisme menghadapi globalisasi” (hal.x). Dalam bingkai pascanasionalisme, negara bangsa cenderung dilihat tengah mengalami krisis eksistensialnya atau keberadaannya kian tak relevan karena digusur oleh otoritas kelembagaan transnasional.
Kenyataannya, kini batas teritorial kian dijaga ketat di mana para tentara bersiaga di tapal batas negara dan aturan keimigrasian kian rumit demi menangkal masuknya imigran yang tak dikehendaki. Dalam konteks film, hampir sebagian besar negara menerapkan kebijakan film yang proteksionis demi melindungi film nasional (domestik) terlepas dari tekanan dan perlawanan terus-menerus dari perusahaan film transnasional.
Persoalan pascanasionalisme adalah terlampau menaruh harapan besar pada keberadaan lembaga supranasional (transnasional) yang diasumsikan mampu bertindak adil tanpa memiliki pamrih. Peran negara-negara kuat tak bisa dinafikan dalam lembaga transnasional melalui proses lobi dan tekanan politis terhadap negara yang kecil dan tidak kuat. Oleh karena itu, pascanasionalisme tetap perlu ditimbang secara kritis dengan senantiasa melihat apa yang terjadi di lapangan. Ini mirip dengan pandangan yang terlampau optimis terhadap praktik co-production film yang dianggap bisa menjadi sarana untuk membangun pengertian budaya antara dua atau lebih negara yang terlibat dalam kerjasama produksi itu. Kenyataannya, terjadi dominasi budaya dari negara yang kuat dan superior dalam kultur filmnya maupun sumberdaya kapitalnya.
Pada akhirnya, kehadiran buku karya Seno ini layak diapreasi di tengah masih terbatasnya penerbitan buku tentang film di tanah air. Dilengkapi kurang lebih seratus sembilan foto (poster film, pamflet promosi, bintang film, dan adegan dalam film), buku ini memudahkan pembaca menemukan ilustrasi dari pokok soal yang diulas. Begitu pula, penggunaan sembilan diagram (bagan) amat membantu menyederhanakan penjelasan yang rumit dan panjang. Karena itu, buku ini memberikan faedah bagi pembaca yang hendak memahami secara kritis gagasan sinema nasional yang kerap dibalut ideologi nasionalisme.
[1] Semula adalah makalah disampaikan pada Diskusi Buku Film dan Pascanasionalisme: 17 Esai Dalam Dua Bagian, diselenggarakan oleh Penerbit DIVA Press, Yogyakarta, 4 Agustus 2023.
[2] Baca paparan lebih jauh persoalan realisme dalam artikel Colin MacCabe bertajuk “Theory and Film: Principles of Realism and Pleasure,” dalam Theoretical Essays: Film, Linguistic, Literature. (pp.58-81). (Manchester: Manchester University Press, 1985)
[3] Baca lebih detail penjelasan Zizek pada bab awal bukunya The Sublime Object of Ideology (London: Verso, 1989), terutama pada pembahasannya tentang ‘ideological fantasy’ di halaman 27 hingga halaman 30.
[4] Baca lebih lengkap argumen Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and the Last Man (New York: The Free Press, 1992) yang menyebut naiknya demokrasi liberal Barat bersamaan dengan akhir Perang Dingin (1945-1991) dan runtuhnya Uni Sovyet (1991) merupakan puncak pemikiran yang tak lagi bisa disempurnakan, sehingga dianggap menandai akhir sejarah (the end of history).
[5] Salah satu pemikir yang dirujuk Zizek sebagai eksponen pemikir yang sinis dalam membaca ideologi adalah filsuf Jerman, Peter Sloterdijk, yang menulis buku terkenal Critique of Cynical Reason (London:Verso, 1988). Nalar sinis (cynical reason) menampik ideologi resmi yang dominan lewat penghadapannya dengan banalitas realitas sehari-hari melalui ironi dan sarkasme. Bagi Slavoj Zizek, kendati nalar sinis itu melakukan penjarakan yang ironis terhadap ideologi, ia tak menyentuh tataran fantasi dari ideologi: ideologi menstruktur realitas itu sendiri.
[6] Baca Ernest Renan, What is Nation? And Other Essays, dialihbahasakan dan disunting oleh M.F.N. Giglioli (Columbia University Press, New York: 2018).
[7] Baca Anthony D. Smith, Nationalism and Modernism (London & New York: Routledge, 1998).
[8] Baca Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, edisi revisi, (London: Verso, 2006).