Menjelang peringatan Hari Anti-Korupsi Internasional (IACD) pada 9 Desember 2020 silam, TVRI menayangkan karya musikal panggung besutan sutradara film Garin Nugroho bertajuk Ayun-Ayun Negeri. Seni pertunjukan telah lama diakrabi oleh Garin.
Memilih bentuk musikal panggung yang digarap laiknya film, Ayun-Ayun Negeri merupakan ikhtiar Garin merangkum persoalan negeri ini yang berkisar pada tabiat kekuasaan, watak elit politik dan nasib rakyat dalam pusaran zaman.
Disokong sepenuhnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pertunjukan ini diniatkan sebagai medium bagi KPK untuk mengedukasi publik perihal nilai-nilai “antikorupsi.” Meski demikian, pertunjukan ini jauh dari kesan “penyuluhan” dan “menggurui.”
Alih-alih, pertunjukan ini menjadi pengingat ihwal praktik penyelewengan kekuasaan dari zaman ke zaman yang abai pada nasib rakyat. Inilah muasal korupsi yang nyaris merasuki pelbagai peristiwa politik, mulai dari pilkada hingga era pandemi saat ini.
Ada empat karakter penting yang menjadi penggerak pertunjukan ini: sutradara (Sekar Sari), juru naskah (Paksi Raras Alit), juru dekor (Jamaludin Latif) dan juru musik (Mia Ismi Halida). Selain itu, kelompok paduan suara Mlenuk Voice dan kelompok Mila Dance menjadi pencipta suasana di setiap zaman lewat nyanyi dan tari ditingkahi pantun yang menggelitik, tetapi sarat kritik.
Kaleidoskop
Dengan gaya berkisah lewat juru cerita yang dituturkan oleh tokoh sutradara, penonton seakan memasuki kaleidoskop sejarah negeri ini. Dimulai dari era kolonial ketika revolusi industri 1.0 bermula dan fajar modernitas menyingsing di tanah jajahan (Hindia Belanda).
Narasi sang sutradara dan juru naskah membantu penonton mencandrakan persoalan yang mencuat di era itu. Lewat gaya pertunjukan tonil atau sandiwara Melayu, para penyanyi dan penari menghadirkan kembali suasana zaman di mana rakyat dan sumber daya alam dieksploitasi habis-habisan oleh kaum penjajah.
Beralih ke era kemerdekaan, suasana Republik diselimuti pelbagai harapan. Sebagai bangsa yang merdeka, Indonesia berhasil menggelar pemilu pertama yang demokratis pada 1955. Pada pemilu pertama itu, jumlah parpol terbilang banyak, tetapi tak ada konflik yang membelah masyarakat.
Di era ini lahir para pemimpin sejati yang mengabdi pada rakyatnya. Sembari mengenakan pakaian ala pramuka, para penyanyi mendendangkan lagu yang penuh sukacita dan pujaan pada negeri. Kita tahu, era ini diwarnai oleh revolusi yang memakan anaknya sendiri dan kelak melahirkan raksasa oligarki.
Ketika memasuki Orde Baru, musik pop era 1970-an dan 1980-an menghentak panggung mengiringi tarian khas anak muda. Inilah zaman yang merayakan pembangunan lewat mantra modernisasi. Negeri ini memasuki revolusi industri 2.0 dan 3.0. Latar panggung pun lantas berubah jadi gambar radio dan layar televisi. Kita tahu, radio dan televisi menjadi alat propaganda rezim Orde Baru untuk membangun kepatuhan, sementara kritik dibungkam.
Gerakan Reformasi yang dimotori mahasiswa mengusung perubahan politik. Penguasa negeri memang berganti, tapi praktik tak terpuji tak kunjung mati. Oligarki yang pernah ada di era kolonial justru bangkit kembali pasca-Reformasi. Para elit politik hanya sibuk berbagi keuntungan dengan sekutunya. Semakin terbentang jarak menganga antara elit dan massa rakyat. Suara rakyat seperti membentur dinding yang mati.
Lewat tarian ala baris-berbaris oleh penari yang mengenakan baju safari dan busana khas ibu-ibu pejabat, ditujukkan masih bercokolnya watak militeristik atau penyeragaman warisan rezim Orde Baru. Sebagaimana mereka berdendang, “Deng derendeng deng/ yang melawan jadikan dendeng.”
Perjalanan sejarah yang dipandu oleh sang sutradara akhirnya berujung di era milenial. Inilah era ketika Revolusi 4.0 dan 5.0 bergulir dan lahir generasi baru. Namun, era yang diwarnai banjir informasi ini tetap menunjukkan tabiat kekuasaan yang nyaris tak berubah. Oligarki tak mati-mati, para elit politik sibuk memoles citra diri saat pemilu namun kelabakan saat pandemi datang.
Negara Teater
Panggung teater rupanya tak hanya menjadi ruang pertunjukan, melainkan juga metafora bagi negara Indonesia. Ini mengingatkan konsep ‘negara teater’ yang pernah dipopularkan antropolog Clifford Geertz (1926-2006) merujuk masyarakat politik di Bali pada abad ke-19. Alih-alih mencapai tujuannya lewat gagasan tentang perang dan kesejahteraan, negara teater diarahkan pada pertunjukan drama dan ritual.
Oleh karena itu, kekuasaan dalam negara teater dijalankan layaknya sebuah pertunjukan. Dalam pertunjukan ini istilah negara teater berubah menjadi plesetan atau olok-olok. Maka, para pemain berseru, “Inilah negeri teater, semuanya serba ‘ter’, tergadai dan terbarter.”
Narasi dalam pertujukan ini memang tak lahir melulu dari tuturan tokoh sutradara dan juru naskah, tapi juga dari pantun yang jenaka namun menyengat. Sebagaimana dendang sang juru musik: “Jangan serius, nanti kewarasan tergerus kawan-kawan/ Main ke negeri Solok, nasi Padang pedas rasanya/ Berpantun olok-olok, itu cara membaca Indonesia.”
Simak pula pantun sang juru naskah tentang hasrat kaum penjajah: “Ada gula ada semut, merambat di atas lumut, negeri kaya semua berebut, tak perduli rakyat semamput.” Dalam pantun itu tak hanya permainan kata yang disertai rima, tapi kritik dan luapan kecemasan juga mengemuka.
Menarik dicatat, kesegaran pertunjukkan ini antara lain mencuat ketika karakter utama melakukan rap seraya mendendangkan lagu. Ada spontanitas dan kegembiraan yang terpancar dari para pemain ketika mengekspresikannya.
Selain itu, di tengah mendung yang masih menggelayuti negeri, ada api asmara yang terpendam antara karakter sutradara dan juru naskah. Ini menjadi bahan ledekan sang juru dekor yang dialamatkan pada sang juru naskah karena ia tampak malu-malu. Agaknya inilah siasat yang dilakukan Garin untuk mengendurkan saraf penonton. Tentu, humor di sana-sini menjadi bumbu penting dalam memahami kemelut di negeri ini.
Pada akhirnya, bak ayunan yang bergerak maju-mundur, negeri ini senantiasa diwarnai oleh perubahan, tetapi masih membawa residu buruk masa lalu. Barangkali ini karena tak ada kesungguhan mengobati pelbagai penyakit yang menggerogoti negeri ini. Persis dendang di awal pertunjukan: “Ayun ayun ayun/ benarkah kisah negeri ini/ negeri penuh korupsi.”
Meski begitu, mimpi sederhana harus terus dihidupkan di negeri ini, sebagaimana dinyatakan sang juru naskah: “mimpiku, sederhana/ tuk saksikan negeri ini/tak dikelabui mereka/ yang haus kuasa.”
Perjuangan melawan kesewenang-wenangan dan korupsi mesti terus bergerak tak kenal henti.
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas edisi Minggu, 20 Desember 2020
Kredit foto: Courtesy of Garin Nugroho